Tgl.Publikasi : 10 April 2025
Penulis :
Akhmad Raidi
Jatengnews.my.id - Purbalingga, Ketegangan perdagangan antara dua raksasa ekonomi dunia, Amerika Serikat dan China, kembali memanas. Bermula dari kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang memberlakukan tarif impor secara bertahap terhadap produk-produk asal China, Negeri Tirai Bambu pun merespons dengan tindakan yang sama kerasnya. Alih-alih mundur, China memilih melawan hingga titik terakhir.
Pada Februari 2025, Amerika Serikat memulai aksi tekanan dengan mengenakan tarif impor sebesar 10% terhadap barang dari China. Hanya berselang satu bulan, pada Maret 2025, tambahan tarif sebesar 10% kembali dijatuhkan, menjadikan total tarif mencapai 20%. Ketegangan semakin menjadi ketika pada awal April, Trump mengumumkan tarif lanjutan sebesar 34%, sehingga total beban tarif mencapai 54%. Tarif ini resmi berlaku mulai 9 April 2025.
Menanggapi tekanan bertubi-tubi tersebut, China tidak tinggal diam. Pada Februari 2025, China membalas dengan menaikkan tarif 15% terhadap impor batu bara dan gas alam cair dari Amerika, serta 10% untuk minyak mentah, mobil, dan mesin besar asal AS. Pada Maret 2025, saat tarif AS mencapai 20%, China kembali meluncurkan tarif tambahan 15% untuk produk-produk pertanian Amerika.
Tidak hanya itu, China juga memperketat ekspor logam tanah jarang—bahan strategis bagi industri teknologi—dan menangguhkan pembelian sorgum, unggas, serta tepung tulang dari sejumlah perusahaan AS. Sebanyak 27 perusahaan asal Amerika pun dimasukkan ke daftar hitam perdagangan oleh Beijing. (Mantabss !!!)
Saat Amerika menambahkan tarif 34% pada awal April 2025, China kembali bereaksi dengan langkah timbal balik. Pada 4 April, pemerintah China mengumumkan tarif resiprokal dengan besaran serupa kepada seluruh produk asal Amerika, efektif mulai 10 April 2025.
Langkah ini menimbulkan efek domino. Ketidakpastian yang melanda pasar keuangan membuat investor cemas, sementara pelaku industri di berbagai belahan dunia mulai mempertimbangkan ulang strategi produksi dan distribusi mereka. Hal ini dikhawatirkan dapat mengganggu rantai pasok internasional, menaikkan biaya produksi, serta memperlambat laju pertumbuhan ekonomi di negara berkembang maupun maju.
Melihat reaksi keras dari Beijing, Trump pun kembali mengeluarkan ancaman pada 7 April. Ia berencana menaikkan tarif tambahan sebesar 50% jika China tidak mencabut tarif balasannya. Jika terlaksana, maka total tarif impor yang dikenakan Amerika Serikat kepada China akan mencapai angka fantastis: 104%.
China tidak gentar. Melalui pernyataan resmi Kementerian Perdagangan dan Kementerian Luar Negeri, China menegaskan komitmennya untuk melindungi kepentingan nasional. Juru bicara Kemenlu China, Linchan, mengecam keras tindakan sepihak Amerika yang dianggap mencederai sistem perdagangan global dan memperburuk kestabilan ekonomi dunia. Dalam pernyataannya, Linchan juga menekankan pentingnya dialog yang setara dan saling menghormati, bukan dominasi dan ancaman.
Perang tarif ini mencerminkan duel kepentingan yang tak hanya berdampak pada kedua negara, tetapi juga mengguncang rantai pasok global.
Dalam waktu hanya tiga bulan masa jabatan Trump, tiga putaran tarif diterapkan oleh AS dan dua di antaranya telah dibalas oleh China.
Meskipun masih menghadapi bayang-bayang tambahan tarif, China tetap berpegang pada prinsip perlawanan sampai akhir.
Pertanyaannya kini, sejauh mana ketegangan ini akan berlanjut? Dan akankah ada celah diplomasi yang bisa meredakan salah satu konflik
dagang terbesar abad ini?
“Jika China terus menargetkan petani dan industri kami, kami tidak akan tinggal diam. Amerika akan menang dalam perang dagang ini, cepat atau lambat.”
“Kebijakan tarif sepihak yang dilakukan Amerika Serikat telah mengguncang fondasi sistem perdagangan internasional yang selama ini dibangun bersama.”
“Perang dagang ini ibarat permainan api yang berisiko membakar stabilitas ekonomi global. Dunia sedang berada dalam ancaman resesi.”
“Alih-alih melemah, China justru semakin bertekad untuk memperkuat industrinya dan mengurangi ketergantungan pada ekspor teknologi tinggi dari Amerika.”
“Langkah balasan China bukan hanya tentang ekonomi, tapi juga soal harga diri dan kedaulatan.”
Ditulis dari berbagai sumber.