Tgl.Publikasi : 08 Maret 2025
Penulis :
Windianti
Jatengnews.my.id - Banyumas, Pernahkah kamu bertanya-tanya, ke mana perginya kesadaran saat kita tidur? Setiap malam, saat tubuh
rebah dalam keheningan, pikiran kita justru seolah memasuki ruang yang berbeda—mengalami hal-hal yang tak masuk akal, bertemu sosok yang
telah lama tiada, atau menjelajah tempat yang belum pernah kita pijak.
Tidur bukan hanya soal mengistirahatkan tubuh dari lelahnya aktivitas harian. Ia seperti gerbang menuju alam yang sulit dijelaskan oleh
logika. Di balik kelopak mata yang terpejam, kesadaran kita seakan tak sepenuhnya lenyap, melainkan berpindah ke ruang yang tak bisa diukur
oleh jam dan jarak.
Dalam berbagai pandangan spiritual, tidur dianggap sebagai momen ketika jiwa melepaskan diri sementara dari ikatan fisiknya. Mereka
menyebutnya sebagai “kematian kecil” karena ada jeda antara kesadaran penuh dan ketidaksadaran total. Tapi menariknya, setiap pagi kita
bangun dengan identitas yang sama, seolah tak pernah benar-benar pergi ke mana-mana.
Namun, apakah semua ini hanya hasil dari aktivitas listrik dan reaksi kimia dalam otak? Ilmu pengetahuan modern berusaha memetakan cara
kerja memori, mimpi, bahkan pengalaman mistis. Mereka menyatakan bahwa semua itu hanyalah bagian dari sistem biologis yang kompleks—tidak
lebih dari sinyal yang bergerak di antara neuron.
Tapi bagaimana dengan teori yang lebih dalam—yang menyatakan bahwa kesadaran bukanlah produk sampingan otak, melainkan sesuatu yang lebih
fundamental? Dalam dunia fisika kuantum, ada hipotesis yang menyebutkan bahwa kesadaran bisa jadi merupakan bagian dari struktur dasar
realitas. Sebuah kesadaran yang tak terbatasi oleh ruang dan waktu.
Ada pula pengalaman mendekati kematian (near-death experience) yang diceritakan oleh banyak orang, di mana mereka merasa "keluar dari
tubuh", melihat cahaya terang, atau menyaksikan kejadian dari sudut pandang di luar jasadnya. Apakah semua itu hanya ilusi otak yang
kekurangan oksigen, atau justru bukti bahwa ada kehidupan di luar tubuh?
Kepercayaan dari berbagai tradisi pun turut berbicara. Dalam filsafat Hindu, misalnya, jiwa adalah bagian dari kesadaran universal yang
abadi. Dalam agama-agama samawi, jiwa diyakini tetap hidup setelah tubuh mati. Maka, jika kita melihat hidup hanya dari sudut pandang
material, kita bisa melewatkan dimensi lain dari keberadaan kita.
Apakah tidur dan mimpi hanyalah aktivitas biologis, ataukah sebuah perjalanan lintas realitas yang selama ini tak kita sadari?
Mungkin, jawabannya akan berbeda bagi tiap orang. Namun satu hal yang pasti: pencarian makna tentang siapa diri kita sebenarnya, mengapa
kita bermimpi, dan apa yang terjadi saat tidur—semuanya memperkaya cara kita memandang kehidupan.
Jadi, bagaimana dengan kamu? Apakah menurutmu kesadaran hanyalah hasil dari otak yang rumit, atau justru ada sesuatu yang lebih besar dari
sekadar tubuh fisik ini? Bagikan pemikiranmu—karena terkadang, pertanyaanlah yang membuat kita semakin dekat dengan kebenaran.
Dalam diamnya malam, ketika mata terpejam dan tubuh terbaring, kita masuk ke dalam keadaan yang tampak sederhana namun sesungguhnya rumit:
tidur. Sebagian tradisi kuno menyebutnya “kematian sementara”, sebuah jeda di mana diri kita lenyap dari realitas fisik, lalu muncul kembali
seolah tak terjadi apa-apa.
Fenomena ini tak hanya memikat pemikir spiritual, tetapi juga para ilmuwan dan fisikawan. Dalam pandangan neurologi modern, tidur dan mimpi
dianggap sebagai bagian dari aktivitas otak—kombinasi antara sinyal listrik, zat kimia, dan pola gelombang tertentu. Tapi, apakah benar hanya
itu?
Penelitian dalam bidang neurofisiologi telah menunjukkan bahwa selama fase tidur tertentu, terutama pada tahap REM, aktivitas otak bahkan
bisa menyamai atau melebihi keadaan sadar. Namun hal ini belum menjelaskan satu hal penting: mengapa kita bisa merasakan mimpi? Mengapa
pengalaman yang hanya terjadi di dalam kepala bisa terasa begitu nyata?
Beberapa ilmuwan berusaha menjelaskan kesadaran sebagai proses rumit yang muncul dari hubungan antar neuron. Namun, ada pula yang menantang
paradigma ini. Fisikawan teoretis seperti Roger Penrose dan ahli anestesi Stuart Hameroff, misalnya, menawarkan hipotesis yang mengaitkan
kesadaran dengan fenomena kuantum. Mereka menyatakan bahwa proses di tingkat mikrotubula—struktur kecil dalam sel saraf—bisa melibatkan
mekanisme non-klasik, membuka kemungkinan bahwa kesadaran tak terbatas pada otak semata.
Sementara itu, dari sisi pengalaman manusia, terdapat ribuan laporan tentang sensasi “keluar dari tubuh” atau melihat cahaya terang saat
mendekati kematian. Sebagian ilmuwan mencoba menjelaskan hal ini dengan kondisi hipoksia (kekurangan oksigen), namun data dari observasi
klinis—seperti yang dikumpulkan oleh Pim van Lommel, seorang dokter Belanda—menunjukkan bahwa pengalaman tersebut bisa terjadi bahkan saat
fungsi otak nyaris tidak terdeteksi.
Dari dunia fisika, ada pula pengamatan menakjubkan seperti eksperimen dua celah, yang menunjukkan bahwa partikel subatom bisa “berperilaku”
berbeda tergantung pada ada tidaknya pengamat. Beberapa fisikawan menyimpulkan bahwa kesadaran memiliki peran dalam membentuk realitas
fisik, meskipun masih menjadi perdebatan.
Pandangan spiritual dan filsafat menambahkan dimensi yang tak kalah menarik. Dalam beberapa ajaran Timur, kesadaran dipandang sebagai
entitas universal—bukan sesuatu yang muncul dari tubuh, melainkan sesuatu yang menghidupi tubuh. Ajaran dari berbagai agama juga menyatakan
bahwa jiwa tetap eksis setelah kematian, menyiratkan bahwa ada unsur dalam diri manusia yang tak terikat oleh materi.
Jika kita menggabungkan berbagai pendekatan ini—biologi, fisika, dan spiritualitas—maka tidur bisa dilihat bukan hanya sebagai fase biologis,
tetapi juga sebagai pintu masuk menuju dimensi lain dari eksistensi. Barangkali mimpi bukan sekadar gambaran acak dari otak, tetapi jendela
kecil ke realitas yang lebih dalam.
Pertanyaan besar pun tetap menggantung: Apakah kita hanya tubuh yang hidup? Ataukah kita adalah kesadaran yang sedang mengalami kehidupan
melalui tubuh? Tidur, dengan segala misterinya, memberi kita peluang untuk merenungkan ulang siapa sebenarnya “kita” itu.
Dan mungkin, pada akhirnya, bukan jawaban yang paling penting, melainkan keberanian untuk terus bertanya.
Silahkan tinggalkan komentar pada bagian bawah halaman ini.